Selasa, 20 Juli 2010

Membangun Karakter Mahasiswa Lewat Orientasi Kampus

1 komentar
Rutinitas awal tahun dalam kalender akademik perguruan tinggi adalah penerimaan mahasiswa baru, dan tahapan awal dalam penerimaan mahasiswa baru adalah membangun karakter mahasiswa dalam suasana Orientasi Kampus. Orientasi Kampus (masing-masing perguruan tinggi mempunyai nama dan ciri khas yang berbeda) begitulah nama singkat nan umum sebagai sarana pendidikan awal mahasiswa dalam mengenal situasi dan proses eksistensi kampus.di dalam Orientasi Kampus, progress report yang selama ini ditanamkan adalah bagaimana mahasiswa mengenal secara dini lingkungan kampus mereka, dan bagaimana mahasiswa mendalami jurusan/bidang ilmu yang akan dijalani selama 8 semester secara utuh sesuai dengan kriteria mahasiswa seutuhnya dalam mencapai gelar kesarjanaan.

Namun Orientasi Kampus setiap tahun menghadapai masalah yang tidak ada habisnya mulai dari tujuan orientasi, formatnya, sampai pada risiko yang ditimbulkan.Hal tersebut diakibatkan lepasnya sistem pengontrolan, entah siapa yang harus disalahkan, namun hal tidak membawa dampak jera dan jeda dalam mengentikan program ini. Orientasi Kampus pun tidak ada suatu prosedur tetap, namun menjadi suatu "roh" kampus yang patut dihormati dan ditaati oleh setiap elemen kampus.

Sejak orientasi kampus digulirkan sebagai bagian dari proses awal masuk perguruan tinggi, muncul pro kontra. Yang kontra, melihat terdapatnya persoalan krusial yang senantiasa membutuhkan kehati-hatian dari para panitia pelaksana. Salah satu persoalan tersebut adalah bentuk kegiatan, yang lebih mengarah pada perpeloncoan, bahkan penyiksaan terhadap mahasiswa baru.

Telah lama dirasakan terjadi kesewenang-wenangan para senior terhadap mahasiswa baru yang harus tunduk dan patuh pada perintah seniornya.

Penyiksaan yang dilakukan oleh senior dan mengakibatkan meninggalnya salah satu mahasiswa baru di STPDN, merupakan salah satu contoh kasus.

Sedangkan yang pro berpandangan bahwa maksud diadakannya orientasi kampus adalah untuk perkenalan dan mempersiapkan mahasiswa baru agar mampu berinteraksi, berkreasi, bahkan beraksi mengkritisi kondisi yang terjadi di sekitar kampus. Dengan adanya masa orientasi, diharapkan antara mahasiswa lama dan baru atau antar mahasiswa baru akan tercipta keakraban.

Argumen ini rasional dan wajar. Namun muncul persoalan ketika realitas sosial menunjukkan ada ketimpangan, penyelewengan dalam kegiatan orientasi yang cenderung menjadi ajang balas dendam mahasiswa lama yang dulunya juga "dikerjai" oleh seniornya.

Semangat Edukatif

Kedua pandangan tersebut sebenarnya bisa dikompromikan dengan mengedepankan semangat edukatif serta sikap kasih (afeksi), untuk mencari format kegiatan orientasi kampus yang lebih humanis dan menyenangkan.

Semangat edukatif, berarti sebuah upaya untuk mendewasakan mahasiswa baru. Jadi, pendekatan yang dilakukan adalah dengan sentuhan seorang pendidik. Dengan begitu, susana yang tercipta adalah membebaskan, sehingga mahasiswa baru akan merasa merdeka, tidak seperti di dalam penjara. Jangan sampai orientasi kampus menjadi ajang dehumanisasi yang merampas hak mahasiswa baru.

Karenanya, dengan semangat edukatif, berarti terdapat proses pendampingan yang dilakukan mahasiswa lama terhadapa mahasiswa baru. Di dalamnya akan tercipta interaksi harmonis, tak ada sekat antara senior - yunior. Untuk merealisasikannya dibutuhkan totalitas sikap afeksi (kasih) dan kedewasaan dari para panitia, agar terjadi saling pengertian.

Orientasi kampus yang edukatif dapat memasukkan nilai pengetahuan, sehingga yang terbangun adalah interaksi ilmu, dan juga proses pengoptimalan ranah kognititif, afektif dan psikomotorik mahasiswa baru. Dengan demikian, orientasi kampus nantinya menjadi pijakan awal mahasiswa baru untuk menghadapi perubahan dari SMA menuju perguruan tinggi.

Dibutuhkan ketelitian dalam membentuk panitia. Dengan kompleksitas permasalahan yang ada, kiranya butuh andil dari para dosen untuk ikut mengarahkan bahkan berpartisipasi aktif dalam mengonsep kegiatan orientasi kampus. Di samping itu, kontrol perlu dilakukan dengan optimal.

Selama ini, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) terkesan sekadarnya dalam megawasi jalannya kegiatan tersebut, makanya perlu kiranya antara pelaksana kegiatan (BEM) dengan pengawas (DPM) duduk bersama membuat kesepahaman

Membangun Pendidikan Karakter

Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan kampus, masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.

Untuk mendapatkan mahasiswa yang mampu berkiprah di masyarakat secara optimal, maka selain diberikan pendidikan yang bersifat akademis dan vokasi, pendidikan karakter pun sangat diperlukan. Dalam hal ini penelitian di IBM menunjukkan, bahwa kualitas manusia ditentukan oleh 90 persen sikapnya (attitude) dalam menghadapi masalah. Sedangkan sisanya 10 persen ditentukan oleh kemampuan ilmunya (knowledge). Membangun sikap yang positif, proaktif dan progresif jelas membutuhkan pendidikan karakter.

Sebenarnya pendidikan karakter bergerak dari knowing menuju doing atau acting. William Kilpatrick menyebutkan salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang berlaku baik meskipun ia telah memiliki pengetahuan tentang kebaikan itu (moral knowing) adalah karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan (moral doing). Mengacu pada pemikiran tersebut maka kesuksesan pendidikan karakter sangat bergantung pada ada tidaknya knowing, loving, dan doing atau acting dalam penyelenggaraan pendidikan karakter. (http://anawinta.wordpress.com)

Selanjutnya dijelaskan, Moral Knowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur, yaitu kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Keenam unsur adalah komponen-komponen yang harus diajarkan kepada siswa untuk mengisi ranah kognitif mereka.

Selanjutnya Moral Loving atau Moral Feeling merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri, percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility).

Setelah dua aspek tadi terwujud, maka Moral Acting sebagai outcome akan dengan mudah muncul dari para siswa. Namun, merujuk kepada tesis Ratna Megawangi bahwa karakter adalah tabiat yang langsung disetir dari otak, maka ketiga tahapan tadi perlu disuguhkan kepada siswa melalui cara-cara yang logis, rasional dan demokratis. Sehingga perilaku yang muncul benar-benar sebuah karakter bukan topeng. Berkaitan dengan hal ini, perkembangan pendidikan karakter di Amerika Serikat telah sampai pada ikhtiar ini. Dalam sebuah situs nasional karakter pendidikan di Amerika bahkan disiapkan lesson plan untuk tiap bentuk karakter yang telah dirumuskan dari mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah.

Upaya pengembangan karakter mahasiswa memerlukan proses yang berkesinambungan, bahkan selama mahasiswa menempuh pendidikan. Dengan demikian, pendidikan karakter, perlu diterapkan secara berkelanjutan. Character Education Quality Standards merekomendasikan 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, sebagai berikut :

  1. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter
  2. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku
  3. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter
  4. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian
  5. Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menunjukkan perilaku yang baik
  6. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka dan membantu mereka untuk sukses
  7. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri dari para mahasiswa
  8. Memfungsikan seluruh staf program studi/fakultas sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia kepada nilai dasar yang sama
  9. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter
  10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter
  11. Mengevaluasi karakter program studi, fungsi dosen sebagai pendidik karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa

Kegiatan pengembangan pendidikan karakter bagi mahasiswa, bertujuan :

  1. Menjadikan mahasiswa memiliki karakter: berintegritas, jujur dan loyal (trustworthiness).
  2. Menjadikan mahasiswa memiliki pemikiran terbuka serta suka memaafkan orang lain (fairness).
  3. Menjadikan mahasiswa memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi social lingkungan sekitar (caring).
  4. Menjadikan mahasiswa selalu menghargai dan menghormati orang lain (respect).
  5. Menjadikan mahasiswa lebih sadar hokum dam peraturan, serta pediuli terhadap lingkungn alam (citizenship)
  6. Menjadikan mahasiswa lebih bertanggung jawab, disiplin dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin (responsibility).

Kesimpulan:

Diharapkan dalam pelaksanaan orientasi kampus, calon mahasiswa dapat diberdayakan sesuai dengan keilmuan yang dibaluti dengan semangat hidup sebagai seorang akademisi nantinya yang mempunyai trustworthiness, fairness, caring, respect, citizenship, responsibility. Agar dalam tahun-tahun berikutnya orientasi kampus menjadi icon positif dalam menciptakan mahasiswa yang berperilaku dan berilmu.. Semoga....

source:

  1. Akhmad Efendi - Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo

  2. http://fti.mercubuana.ac.id

1 komentar:

Posting Komentar

Prev Prev Home